Tampilkan postingan dengan label dongeng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dongeng. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 September 2013

PEMPEK - asal usul, sejarah, jenis


nah... kawan kawan tw gak? asal muasal nama pempek?
nih ku ceritain
Menurut sejarahnya, pempek telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Cina ke Palembang, yaitu di sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badarudin II berkuasa di Kerajaan Sriwijaya. Nama empek-empek atau pempek diyakini berasal dari sebutan "apek", yaitu sebutan untuk lelaki tua keturunan Cina.

Berdasar cerita rakyat, sekitar tahun 1617 seorang "apek" berusia 65 tahun yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai Musi. Hasil tangkapan itu belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas digoreng dan dipindang. Si Apek kemudian mencoba alternatif pengolahan lain. Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Oleh karena penjualnya dipanggil dengan sebutan "pek … apek", maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai empek-empek atau pempek.

sedangkan 
Budayawan Palembang, Yudhy Syarofie, mengatakan, antara tahun 1.400-1.500 an terjadi hubungan antara pedagang dari China dengan masyarakat Palembang. Pedagang-pedagang China tersebut membawa berbagai macam makanan seperti bakso, kekian, ngohyang, dan bakpau.

“Daging yang dipergunakan tidak halal. Padahal saat itu sebagian besar masyarakat Palembang adalah Muslim,” terangnya.

Pada masa itu, masyarakat Palembang sudah mengenal makanan berbahan baku sagu. Di suatu kawasan di Palembang, terdapat tanaman sagu sekaligus tempat pengolahannya menjadi tepung. Hingga kini, meskipun tanaman dan pengolahan sagu sudah tidak ada lagi, kawasan yang dimaksud masih dikenal sebagai Pesaguan.

Tanaman sagu dan aktivitas pengolahannya terhenti sektar tahun 1950-an. Sebagai akibatnya, masyarakat Palembang harus mendatangkan sagu dari daerah lain. Sebagai catatan, masyarakat Palembang tidak pernah menggunakan tepung tapioka (hasil olahan singkong) untuk bahan baku pempek.

Di situlah terjadi adaptasi bahan baku makanan yang dilakukan masyarakat Palembang. Yakni dengan mempergunakan bahan baku ikan Belida, sejenis ikan air tawar bertubuh bongkok dan berdaging yang banyak terdapat di perairan Sungai Musi.

Saat itu, masyarakat mengenal pempek sebagai kelesan. Sebutan kelesan berasal dari nama alat yang dipergunakan untuk menghaluskan daging ikan. Alat ini terbuat dari kuningan, berbentuk cembung dengan semacam “kuping” di sisi yang berhadapan. Gunanya sebagai pegangan.

Di bagian yang cembung, terdapat lubang-lubang kecil. Ketika dikeles, daging ikan yang sudah dikuliti dan dibuang tulang-tulang besarnya menjadi halus dan keluar dari lubang-lubang kelesan itu. Sekilas, tampak seperti kerupuk. Karena itulah, penganan yang dibuat dari campuran daging ikan giling, sagu, garam, dan air ini disebut kelesan.

Masyarakat Palembang juga mengenal alat kelesan sebagai pirikan. Seiring perkembangan zaman, kelesan atau pirikan mulai jarang digunakan. Saat ini pasar-pasar tradisional Palembang biasa menyediakan ikan giling, hasil penggilingan mesin.

Usaha rumahan untuk penggilingan ikan ini banyak terdapat di Kampung Kapitan, kawasan wisata peninggalan rumah tua yang berada di Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu 1 Palembang. Pada awalnya hanya kaum bangsawan yang mengonsumsi kelesan.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, makanan ini mulai bisa disantap masyarakat kebanyakan. Hal itu terbukti dari minimnya informasi yang menyebutkan aktivitas jual beli kelesan kepada khalayak sebelum awal abad 20.

Awalnya, pempek dibuat dari ikan Belida (Notopterus chitala). Kemudian, digunakan pula ikan Putak (Notopterus notopterus). Namun kemudian, kedua jenis ikan yang masih dalam satu famili ini semakin langka di Palembang. Karenanya, masyarakat pun menggunakan ikan lain yang memiliki serat dan tekstur daging hampir serupa dengan ikan Belida dan Putak. Dipakailah kemudian ikan Gabus (Channa striata dan ikan Bujuk (Channa lucius). Di samping itu, digunakan juga jenis ikan laut seperti Bilis (Chela oxygastroides), Tenggiri (Cybium commersoni) dan Parangparang (Chirocentrus dorab).

Semakin langka dan mahalnya ikan-ikan ini, membuat masyarakat berinovasi. Sejak pertengahan dekade 2000, mulai dipakai pula Kakap Merah (Lutjanus argentimaculatus). Tentu saja, Kakap Merah yang digunakan tidak masuk dalam kualifikasi ekspor. Karena kreasi yang baik dan kemampuan berinovasi, masyarakat pembuat pempek akhirnya menemukan komposisi yang baik dalam pembuatan pempek.

Daging ikan Gabus yang renyah dan gemuk, dipadukan dengan daging tenggiri yang kenyal dan gurih kemudian dipadukan. Sehingga kemudian diperoleh pempek yang kenyal-kenyal renyah dan gurih. Itulah sebabnya Pempek dikatakan sebagai hidangan spesifik Palembang dengan bentuk yang padat, terbuat dari unsur protein (ikan) dan karbohidrat (sagu). Hidangan tersebut biasa disajikan bersama Cuko, saus dengan rasa asam, pedas dan manis.

Cuko dibuat dari bahan gula merah yang dididihkan dengan air. Kemudian air gula ini disaring. Pada saat yang sama, campurkan air dengan asam Jawa (tamarine), lalu peras dan saring. Kedua cairan ini kemudian dicampur dan kembali digodok. Setelah itu, saat masih panas, campurkan bawang putih serta cabe rawit yang ditumbuk kasar. Sebagai penyedap, tambahkan tongcai.

JENIS PEMPEK :
  • Pempek Lenjer Merupakan jenis pempek yang digunakan juga untuk membuat menu laksan. Makanan khas Palembang yang berkuah kuning seperti kuah lontong sayur. Lenjer ini sendiri bisa digoreng lalu dimakan dengan kuah cuko. Rasanya sama dengan pempek kapal selam tapi nggak ada isi telurnya. 
  • Pempek Lenggang Merupakan pempek yang dicampur dengan telur bebek kemudian diletakkan di daun pisang yang sudah dibentuk seperti piring dan dibakar. Bisa juga digoreng. Meski sama sama enak, namun pempek lenggang panggang ini lebih populer dibanding lenggang goreng.
  • Pempek Tunu Adalah pempek yang selama pembuatannya sama sekali nggak terkena minyak penggorengan. Usai dibentuk bulat-bulat dan diisi, pempek ini langsung dipanggang. Isi tunu sendiri bermacam macam, ada yang mengisi dengan ikan kering dan kecap asin, tapi ada juga yang mengisi dengan ebi, kecap manis dan cabai. Biasanya pempek ini menjadi ukuran pintar tidaknya seseorang dalam membuat pempek. Karena dengan tidaknya adonan tersentuh minyak, maka kita bisa merasakan apakah pempek tersebut amis ikan atau tidak. Jika amis, bisa dipastikan terdapat kesalahan dalam pembuatannya.
  • Pempek Keriting Adalah pempek ini oleh orang palembang suka di makan tanpa digoreng. Tapi buat anda yang suka gurih seperti saya, lebih baik digoreng. Karena ketika pempek keriting ini digoreng, ampuuun rasanya gurih sekali. Ya, menilik bentuknya bisa dibayangkan, setiap seluk beluk yang garing. Nyaaam lezat sekali...
  • Pempek Pistel Adalah pempek yang didalamnya berisi pepaya muda.
  • Pempek Tahu dan Pempek Model Sebetulnya seolah saudara kembar yang beda gemuknya. Kalau pempek tahu, isinya mayoritas tahu yang kemudian diselimuti tipis adonan pempek, pempek ini lebih enak jika dimakan dengan cara digoreng. Sedangkan Pempek Model lebih banyak adonan pempek dibanding tahunya. Model ini lebih enak dimasak sup daripada digoreng.
  • pempek kapal selam, yaitu telur ayam yang dibungkus dengan adonan pempek dan digoreng dalam minyak panas
  • pempek bulat (atau terkenal dengan nama "ada'an"), 
  • pempek kulit ikan

Minggu, 08 September 2013

dongeng - 2 KUCING & 2 ONIGIRI

Suatu hari ada seekor kucing besar dan seekor kucing kecil. 
Dua ekor kucing tersebut menemukan dua buah onigiri. Kucing yang besar menemukan onigiri kecil, sedangkan kucing yang kecil menemukan onigiri besar. Karena hanya mendapatkan onigiri yang kecil, kucing besar itu berkata kepada kucing yang kecil.

“Hei, kucing kecil. Lihatlah, badanmu kan kecil kenapa kamu mau makan onigiri yang besar? Ayo tukarkan dengan onigiriku saja” kata kucing besar.
“Enak saja. Aku kan yang menemukan onigiri besar ini, jadi walaupun badanku kecil aku berhak makan onigiri besar” kata kucing kecil.

“Heh, dimana-mana itu kalau kucing kecil makannya ya sedikit. Kalau kucing besar makannya ya banyak. Kok begitu saja kamu tidak tahu sih?”

“Nah, aku kini tahu akal bulusmu. Kamu khawatir kan kalau aku makan onigiri besar ini badanku akan menjadi besar. Kalau badanku besar, kamu takut kalah saingan kan?”


“Bukan begitu. Tapi wajarnya karena badanmu kecil, ya makanmu juga sedikit saja. Nanti kalau makan kebanyakan perutmu akan sakit”

“Ah, kamu ini mau mencoba membujukku ya? Pokoknya aku gak mau!”

Karena tidak ada yang mau mengalah, akhirnya kedua kucing itu saling bertengkar. Pada saat bertengkar itu, kucing besar mendapatkan ide.

“Begini saja, bagaimana kalau kita pergi bertanya kepada kera. Mungkin dia mempunyai pendapat yang lebih bagus” kata kucing besar.

“Baiklah aku setuju” kata kucing kecil.
Akhirnya dengan menggelindingkan onigiri di sepanjang jalan, mereka pergi menemui kera. Kedua kucing itu lalu menceritakan persoalan yang sedang mereka hadapi.

“Hmm… sulit juga ya. Tapi kalau menurut pendapatku, bagaimana kalau dua onigiri ini dibagi rata hingga mencapai besar yang sama?” tanya kera.
“Baik, saya setuju”

“Saya juga setuju”

“Baiklah, sementara aku menimbang berat onigiri ini, kalian pergilah sedikit menjauh”

Akhirnya kera memegang dua buah onigiri itu di tangan kanan dan kirinya. Ia mencoba menimbang-nimbang dengan tangannya.

“Hmm… kok berat yang kanan ya?” kata kera seraya mengambil sedikit bagian onigiri di tangan kanannya lalu memakannya.

Kera lalu menimbang-nimbang lagi.

“Kok terasa berat yang kiri ya?” katanya lagi seraya mengambil sedikit bagian onigiri dari tangan kirinya lalu memakannya.

Kera terus menimbang-nimbang berat onigiri itu. Namun ia tetap tidak bisa merasakan berat onigiri yang sama. Sampai akhirnya dua buah onigiri itu pun habis dimakannya sedikit demi sedikit. Melihat kedua onigiri mereka habis, kedua kucing itu pun sangat kecewa. Mereka pulang sambil menangis tersedu-sedu. Miauww…

Judul asli: Futatsu no Omusubi (Dua Buah Omusubi) berasal dari Prefektur Fukuoka.

dikutip dari: KAGUYA-HIME Kumpulan Cerita Rakyat Jepang Pilihan. Era Media. 2007